Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina Gelar FGD tentang Sunat Perempuan

Sunat Perempuan

Dalam rangka memutus mata rantai praktik sunat perempuan/pemotongan dan pelukaan genetalia perempuan (P2GP), Pondok pesantren Luhur Manhajiy Fahmina berkolaborasi bersama Pusat Studi Gender dan Anak (PUSIGA)  dan United Nations Population Fund (UNFPA) menggelar Focussed Group Discussion (FGD) yang bertajuk “Pemahaman Santri tentang Kekerasan dalam P2GP/Sunat Perempuan & Pencegahannya.” Acara ini diselenggarakan di Rumah Joglo, Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina pada Minggu, 15 Desember 2024.

Acara ini dihadiri langsung oleh Lies Marcoes Natsir selaku Konsultan Temporal UNFPA Indonesia sebagai narasumber. Lies Marcoes merupakan aktivis keadilan dan kesetaran gender yang fokus membahas isu-isu seputar sunat perempuan.  Ia aktif melakukan penelitian tentang sunat perempuan ke berbagai tempat termasuk pondok pesantren.

Lies Marcoes Natsir mengungkapkan tujuannya ke Pondok pesantren Luhur Manhajiy Fahmina untuk mendapatkan cerita tentang bagaimana  praktik sunat perempuan di daerah masing masing mahasantri.  Penulis buku Merebut Tafsir ini  memaparkan bahwa sunat perempuan ternyata dipraktikkan oleh banyak masyarakat,  dengan berbagai cara, baik yang melukai ataupun tidak.

“Sunat ini di praktikkan bisa lebih dari 46% perempuan mulai dari hanya dicuci hingga benar-benar dilukai,” ungkap peneliti dan pakar gender tersebut.

Lebih lanjut, Lies memaparkan hasil temuan keduannya bahwa seluruh organisasi keagamaan seperti MUI, KUPI, Muhammadiyyah, dan NU memiliki kesimpulan yang sama terkait sunat perempuan. Dari hasil risetnya, keempat organiasi keislaman ini berkesimpulan bahwa segala bentuk pelukaan dan pemotongan di area kewanitaan tidak dianjurkan.

Setelah memaparkan hasil temuannya, Lies melanjutkan sesi dengan berbagi cerita antarpeserta yang hadir.  Satu per satu mahasantri membagikan pengalamannya mengenai praktik sunat perempuan di daerah masing masing. Masing-masing dari mereka mengungkapkan cerita yang beragam dengan mayoritas mengamini terjadinya praktik sunat perempuan baik pada dirinya sendiri maupun pada orang lain di sekitarnya.**