Drama Kolosal di SUPI Bershalawat: Cara Menyampaikan Pesan Perdamaian Melalui Pentas Seni

SUPI Bershalawat

SUPI.id – Kemeriahan peringatan Hari Santri Nasional (HSN) 2023 saya rasakan ketika seluruh Mahasantriwa Sarjana Ulama Perempuan Indonesia (SUPI) ISIF menampilkan beberapa kreasi dan seni dalam kegiatan SUPI Bershalawat, pada 21 Oktober 2023, malam.

Mahasantriwa SUPI benar-benar menumpahkan semua kreativitasnya dalam memeriahkan peringatan Hari Santri. Meskipun, kegiatan SUPI Bershalawat dibuka dengan marhabanan, tapi setelah itu, mereka melanjutkan dengan pentas seni.

Pentas seni dalam kegiatan SUPI Bershalawat menjadi wadah bagi para mahasantriwa SUPI dan tamu yang hadir untuk ruang ekspresi dan ruang perjumpaan bagi semua orang dari berbagai lintas iman. Seperti Pemuda Lintas Iman, Gusdurian Cirebon, dan kelompok anak muda. Serta teman-teman dari Iqamah.id.

Adapun beberapa penampilan yang mereka suguhkan di antaranya, ada tarian, puisi, shalawat, nyayi hingga drama kolosal yang sangat menarik.

Mungkin bagi sebagian orang tidak perlu meragukan kembali soal kekreativitasan para santri ketika tampil dalam pentas seni. Mereka, dengan keotodidakannya, bisa menampilkan semua hal yang di luar perkiraan orang-orang di luar pesantren.

Maka dalam hal ini lah, pesantren mengajarkan kepada kita semua bahwa pesantren itu bukan hanya sebagai tempat mengaji ilmu-ilmu keagamaan. Melainkan juga, banyak hal yang bisa para santri pelajari dan dapatkan dari pesantren.

Termasuk salah satunya adalah sebagai wadah untuk mengembangkan semua skill dan kekreavitasan para santri. Bahkan dalam drama kolosal yang teman-teman mahasantriwa SUPI tampilkan, mereka bisa membawakannya dengan baik.

Drama Kolosal

Dalam drama kolosal yang teman-teman mahasantriwa SUPI suguhkan bercerita tentang seseorang manusia yang sedang mencari Tuhan.

Peran ini dibawakan oleh santri putra dan santri putri, mereka adalah Obi dan Faqih. Keduanya dikisahkan sebagai anak pedalaman yang sedang berada dalam kelaparan.

Kemudian mereka keluar dari hutan, lalu bertemu dengan seorang pedagang. Mereka meminta pedagang itu untuk mengasih makan kepadanya. Hingga akhirnya ia dibolehkan makan oleh pedagang tersebut.

Namun, saat setelah mereka makan, penjual ini meminta keduanya untuk membayar. Akan tetapi mereka kebingungan karena satu sisi mereka anak hutan yang tidak mengerti apapun, sisi lain mereka tidak punya uang untuk membayarnya.

Hingga akhirnya, pedagang ini kesal, hingga akhirnya mengikhlaskan makanan yang telah keduanya makan. Namun karena masih sedikit yang ia makan, keduanya masih merasakan kelaparan. Dan karena si pedagang ini juga, meminta keduanya, “kalau mau makan, sana minta ke Tuhan,” kata si pedagang.

Lalu datanglah sosok Dewi, dari Hindu menghampiri keduanya. Ia menawarkan kepada mereka, masuk lah ke agamanya, karena Tuhannya paling dekat. Karena kami memanggil Tuhan dengan Om, “Om, shanti, shanti Om.”

Jadi untuk persoalan makan, pasti terjamin. Kami juga memiliki Dewi Sri, yang bertugas untuk menjaga makanan seluruh umatnya. Namun, mereka hanya diam.

Pendeta

Kemudian, datanglah seorang pendeta menghampiri keduanya. Si pendeta ini menawarkan kepada keduanya, mintalah kepadaku karena aku paling dekat Tuhan. “Lihat saja, kami memanggilnya ‘Bapa’. ‘Bapa’ kami yang ada di surga.” Jadi untuk makan, kalian tinggal milih. Lagi-lagi keduanya hanya berdiam.

Setelah itu, datanglah dari Islam. Ia menjelaskan bahwa hubungan kami dengan Tuhan sangat jauh. “Duh, boro-boro dekat. Memanggil-Nya aja dari menara, pakai pengeras suara.”

Melihat drama yang para mahasantriwa ini tampilkan dalam SUPI Bershalawat, semua para penonton yang hadir, tertawa terbahak-bahak.

Hingga akhirnya drama kolosal ini ditutup dengan pernyataan tegas, bahwa Tuhan itu semua sama, dan satu, Tuhan yang Maha Esa. Tidak ada yang paling dekat maupun paling jauh. Semuanya kembali kepada kepercayaan masing-masing penganut umat beragama.

Tugas kita sebagai umat beragama adalah menghormati, menghargai, dan merawat perbedaan ini dengan penuh kasih sayang dan suka cita. Kita sebagai umat Islam dilarang menyakiti, mendiskriminasi, menghina, bahkan merendahkan mereka yang berbeda dengan kita.

Karena sejatinya yang berbeda itu menurut pandangan Rektor ISIF, KH. Marzuki Wahid adalah konstruksi atau rumusan manusia terhadap Tuhan itu sendiri.

Pandangan KH. Husein Muhammad

Dalam hal ini, saya teringat dengan perkataan yang kerap KH. Husein Muhammad sampaikan bahwa Islam adalah agama yang hadir untuk menciptakan kedamaian, cinta, kasih sayang, dan keadilan.

Kehadiran Islam justru harus memberikan kedamaian bagi seluruh umat manusia. Bukan kebencian, atau bahkan permusuhan.

Sangat disayangkan apabila kerahmatan (kasih sayang) yang Islam cita-citakan justru tidak kita tebarkan kepada mereka yang berbeda agama.

Senada dengan semangat Islam di atas, melalui berbagai catatan hadis, Nabi Muhammad Saw pun telah memberi teladan pada kita untuk selalu memuliakan orang-orang yang berbeda.

Hal ini bisa kita lihat dari kisah nabi memuliakan pelayannya yang beragama Yahudi. Kisah ini terungkap dalam berbagai kitab hadis, termasuk kitab hadis yang paling shahih di mata umat Islam, yaitu Shahih Bukhari.

Dalam kitab shahih ini, hadis nomor 1371, Anas bin Malik r.a bercerita bahwa Nabi Muhammad Saw memiliki pelayan yang beragama Yahudi.

Suatu saat, pelayan ini jatuh sakit. Lalu, nabi menjenguknya.

Ketika menjenguk, Nabi Muhammad Saw. mendekat ke kepala dan mengelusnya, sambil bersabda, “Maukah engkau masuk Islam?”

Lalu, sang pelayan melempar pandangan ke ayahnya yang juga beragama Yahudi.

“Kalau engkau lihat itu baik, silahkan ikuti ayah dari Qasim ini (Nabi Muhammad Saw),” jawab sang ayah.

Karena keluhuran akhlak Nabi Muhammad Saw selama ia melayani di rumah nabi, sang pelayan itu bersedia menjadi muslim.

Tentu, hal ini tidak terlepas dari kemuliaan akhlak Nabi Muhammad Saw kepada pelayan yang beragama Yahudi tersebut.

Menyampaikan Kebaikan Melalui Kesenian

Teladan-teladan memuliakan mereka yang berbeda ini sebenarnya telah Nabi Muhammad Saw praktikkan sejak dahulu kala. Kita sebagai umatnya, patut untuk meneruskan teladan-teladan baik yang telah Islam bawakan.

Menyampaikan teladan kebaikan ini, tentu saja seperti yang dipraktikkan oleh teman-teman mahasantriwa SUPI suguhkan melalui drama kolosal. Drama menjadi wadah bagi mereka untuk belajar menyampaikan seluruh kebaikan. Termasuk pesan-pesan perdamaian pun bisa tersampaikan melalui sebuah pentas seni.

Teman-teman mahasantriwa SUPI dengan segala keterbatasannya, mereka mampu berhasil menyampaikan pesan kebaikan dan perdamaian itu melalui pentas seni. Bahkan mereka harus memikirkan bagaimana drama yang mereka buat itu dapat memberikan nilai dan pesan kebaikan.

Hal-hal seperti inilah, yang membuat santri Pesantren Luhur Manhajy Fahmina ini tidak hanya sekedar belajar kitab kuning saja. Melainkan mereka juga harus belajar tentang bagaimana kreativitas dan skill mereka harus terus diasah.

Ke depannya, skill dan kreativitas inilah yang nantinya akan bisa memberikan banyak manfaat ketika mereka berada di rumah. Meskipun hanya beberapa persen. Tapi ketika nanti kembali ke masyarakat, saya kira hal ini lah banyak dibutuhkan.

Mahasantriwa SUPI harus lebih kreatif untuk mengikuti dan beradaptasi dengan lingkungan di masyarakat. Bahkan, mereka itu bisa menjadi pelopor bahwa pesan-pesan kebaikan itu bisa mereka sampaikan dengan banyak cara. Termasuk salah satunya melalui kesenian.

Karena kesenian atau pentas seni adalah cara lain yang dapat mahasantriwa SUPI manfaatkan ketika ia akan hidup di masyarakat nanti. Bahkan karena seni ini, hidup mereka dapat lebih indah dan berwarna.

Dengan begitu, mari kemeriahan hari santri ini, kita rayakan dengan penuh kebahagaian dan pesan-pesan yang membawa kita dalam kebaikan. Dengan begitu, pesan tema HSN 2023, Jihad Santri, Jayakan Negeri itu, dapat benar-benar kita rasakan. []