Menghormati Ibu adalah kewajiban mutlak. Namun, jika kita berhenti hanya pada peran reproduktif, perjuangan panjang perempuan tercerabut dari akar sejarah dan politiknya.
SUPI.id – “Mama, besok Hari Ibu. Aku punya hadiah buat Mama, tapi cuma ucapan,” kata Chua, anak bungsuku, semalam di mobil saat perjalanan pulang dari Jakarta.
Hari ini pun ia kembali mendekat dan menawarkan sesuatu dengan wajah penuh kesungguhan. “Mama pengin apa? Coba bilang ke aku.”
“Mama nggak punya keinginan apa-apa, Chua,” jawabku singkat.
“Nggak bisa. Mama harus punya keinginan,” katanya lagi. Sorot matanya berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Ia ingin mengekspresikan cinta, karena ini momentum Hari Ibu.
Hal yang sama juga kerap dilakukan kakaknya, Nilna. Di tahun-tahun sebelumnya, setiap 22 Desember tiba, pesan-pesan romantis dari Maroko—tempat ia kini belajar—selalu datang. Dan hari ini pun tak berbeda. Kakak Nilna diam-diam mengatur sebuah kejutan bersama Kaka Fadwa dan Chua. Dengan penuh semangat dan wajah ceria, Chua dan Kakak Fadwa datang membawa lilin di atas sekotak dimsum mentai favorit kami, sambil menyanyikan “Happy Mommy’s Day”, disusul doa-doa lirih dan persembahan lagu “Bertaut” karya Nadin Amizah. Momen kecil ini membuatku menyadari bahwa cinta anak-anak sering kali hadir dalam bentuk yang paling tulus dan apa adanya.
Mengingat Kembali Sejarah Hari Ibu
Pemandangan serupa juga tampak hari ini di status Instagram dan WhatsApp Story teman-teman, ungkapan terima kasih kepada ibu, perayaan atas kerja-kerja perawatan dan reproduksi sosial yang selama ini jarang diakui secara layak. Tak sedikit pula yang secara sadar mengajak para laki-laki untuk ikut mengapresiasi peran istrinya sebagai ibu—hal sederhana, tetapi penting, dalam budaya yang sering menganggap kerja keibuan sebagai sesuatu yang ‘sudah seharusnya’.
Karenanya, ucapan ‘Selamat Hari Ibu’ setiap 22 Desember tentu saja ekspresi yang mulia, valid, penuh bermakna—dan sama sekali tidak perlu dipertentangkan. Bahkan, aku sendiri sebagai seorang ibu tentu merasa bahagia ketika menerima kejutan manis dari anak-anak. Ada rasa dihargai, diingat, dan dicintai, yang dalam keseharian sering kali tertimbun oleh rutinitas.
Namun, ada satu kegelisahan yang selalu menyertai kebahagiaan itu. Jika perayaan Hari Ibu berhenti pada ucapan, hadiah, dan kata-kata manis, tanpa sadar kita ikut mengaburkan, bahkan menghapus sejarah politik perempuan yang justru melahirkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu. Padahal, hari ini tidak lahir dari romantisasi keibuan, melainkan dari perjuangan panjang perempuan Indonesia yang menuntut pendidikan, keadilan hukum, dan pengakuan sebagai warga negara.
Secara historis, 22 Desember merujuk pada Kongres Perempuan Indonesia I yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tahun 1928. Kongres ini dihadiri oleh sekitar tiga puluh organisasi perempuan dan menjadi forum artikulasi isu-isu struktural yang menyangkut posisi perempuan dalam masyarakat, termasuk pendidikan perempuan, praktik perkawinan anak, poligami, serta hukum perkawinan Islam.
Lebih jauh, Kongres ini tidak berhenti sebagai ruang diskusi internal, melainkan menghasilkan resolusi-resolusi konkret yang secara langsung diajukan kepada pemerintah kolonial Belanda, menandai kehadiran perempuan Indonesia sebagai subjek politik yang bernegosiasi dengan negara kolonial. [1] Fakta ini menunjukkan bahwa sejak awal, perempuan Indonesia tampil sebagai aktor politik dan subjek kewargaan —penanda awal kelahiran Hari Ibu, bukan sekadar figur domestik.
Pergeseran Makna
Pergeseran makna Hari Ibu dari momentum politik perempuan menjadi perayaan domestik yang jinak tidak terjadi secara alamiah. Ia merupakan hasil dari konstruksi ideologis negara, terutama pada masa Orde Baru, melalui apa yang oleh Julia Suryakusuma—Enin Julia, kami memanggilnya—disebut sebagai ibuisme negara (state ibuism). Dalam kerangka ini, perempuan dikonstruksikan terutama sebagai istri dan ibu yang bertugas menjaga harmoni keluarga sekaligus menopang stabilitas negara.
Suryakusuma secara tegas menyatakan bahwa, “ibuisme negara adalah perkawinan antara feodalisme dan kapitalisme, di mana perempuan dikonstruksikan sebagai ibu dan istri yang menjaga keluarga, sekaligus menjadi tenaga kerja murah yang menopang pembangunan.”[2]
Kutipan ini menegaskan bahwa ibuisme negara bukan sekadar norma budaya, melainkan strategi politik yang memanfaatkan tubuh dan kerja perempuan untuk menopang kekuasaan. Perempuan dirayakan, tetapi justru posisi kewargaannya didepolitisasi.
Warisan ibuisme negara tidak berhenti pada era Orde Baru. Sebagaimana ditunjukkan oleh Hyunanda dkk., konstruksi perempuan sebagai “Ibu” justru berlanjut dan beradaptasi dalam konteks pascareformasi melalui mekanisme yang lebih halus. Pada satu sisi, perempuan dihadirkan sebagai warga negara yang aktif. Namun pada sisi lain, identitas mereka tetap dibatasi oleh peran sebagai istri, ibu, dan penjaga moral keluarga.
Hyunanda dkk. menegaskan bahwa “through State Ibuism ideology, the notion of ideal womanhood makes clear the limits of women’s identity as wife, mother, and citizen,” sebuah konstruksi yang “subordinates and marginalizes women, while also depoliticizing the women’s movement.” Lebih jauh, mereka secara eksplisit menyatakan bahwa “despite significant changes in Indonesia’s political landscape after Suharto’s resignation, the construction of ideal womanhood through State Ibuism prevails.”[3]
Dengan demikian, perempuan boleh hadir dan aktif di ruang publik, tetapi tetap dalam kerangka identitas keibuan yang menormalkan ketundukan dan membatasi subjektivitas politiknya—sebuah pola yang secara konseptual dapat dibaca sebagai neo-ibuisme.
Kondisi ini sejalan dengan apa yang oleh Dr. Nyai Nur Rofi’ah, Bil Uzm. disebut sebagai patriarki garis lunak, yakni pola relasi gender di mana perempuan diperbolehkan bergerak, berpendidikan, dan berkiprah di ruang publik, tetapi tetap berada dalam batas-batas yang ditentukan oleh kepentingan dan standar laki-laki. Dalam perspektif keadilan hakiki perempuan, Nur Rofi’ah menegaskan bahwa ketidakadilan tidak selalu hadir dalam bentuk larangan langsung, melainkan melalui mekanisme yang lebih halus.
Perempuan tampak diberi ruang, tetapi tidak sepenuhnya setara. Perempuan boleh maju, selama tidak melampaui laki-laki. Perempuan boleh aktif, selama tidak menggugat otoritas. Bahkan perempuan boleh mengadopsi standar laki-laki, tanpa pernah diakui sepenuhnya sebagai subjek otonom. Dalam konteks ini, neo-ibuisme bekerja sebagai kelanjutan logis dari ibuisme negara —ia mengizinkan perempuan hadir di ruang publik, tetapi tetap menambatkannya pada fungsi moral dan simbolik yang menetralkan daya kritis politik perempuan.
Memaknai Hari Ibu
Pemaknaan sempit Hari Ibu juga ditopang oleh reduksi keibuan sebagai fakta biologis semata. Padahal, keibuan adalah praktik sosial yang membentuk identitas, relasi, dan rasa kelekatan sosial. Dalam kajiannya tentang ibu-ibu Indonesia dalam keluarga transnasional, Ariane Utomo menegaskan landasan konseptual ini dengan mengutip definisi mothering sebagai praktik sosial. Mengacu pada Arendell, Utomo menuliskan bahwa “mothering is the social practices of nurturing and caring for dependent children,” sebuah praktik yang secara historis dan kultural dilekatkan pada perempuan karena merekalah yang secara universal melakukan kerja keibuan tersebut.[4]
Dengan demikian, keibuan tidak dapat dipahami semata-mata sebagai kondisi biologis, melainkan sebagai kerja sosial yang sarat nilai, relasi kuasa, dan ekspektasi kultural. Menghormati ibu tanpa mengakui dimensi sosial dan politik keibuan berarti memuja pengorbanan perempuan sembari menutup mata terhadap struktur sosial yang memproduksi dan memaksa pengorbanan tersebut.
Di titik inilah kritik terhadap pemaknaan Hari Ibu menemukan urgensinya. Kritik ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan penghormatan kepada ibu biologis, melainkan untuk memperluas maknanya. Menghormati ibu secara etis justru menuntut kesadaran sejarah, bahwa 22 Desember lahir dari perjuangan perempuan sebagai warga negara yang menuntut pendidikan, keadilan hukum, dan pengakuan politik. Apabila kita berhenti pada ucapan dan simbol sentimental semata, kita membiarkan perjuangan panjang perempuan tercerabut dari akar sejarah dan politiknya. Menggabungkan penghormatan personal dengan kesadaran historis inilah bentuk penghormatan yang lebih utuh dan lebih adil terhadap ibu dan perempuan Indonesia.
Selamat Hari Ibu untuk seluruh perempuan —mereka yang memiliki anak maupun tidak, yang menikah maupun tidak, yang hidup dalam keluarga inti, keluarga pilihan, atau sendirian, perempuan yang bekerja di ranah domestik maupun publik, yang merawat, mengajar, mengorganisir, menulis, menyembuhkan, melawan, dan bertahan.[]
—
[1] Yuanita Dwi Hapsari, Trisni Utami, Mahendra Wijaya, dan Triana Rahmawati, “Pattern and Orientation of Indonesian Women’s Movement: Comparison of Women Movement in the Era Before and After the Reform,” Advances in Social Science, Education and Humanities Research 510 (2020): 485.
[2] Julia Suryakusuma, “Ibuisme Negara adalah Perkawinan antara Feodalisme dan Kapitalisme,” Jurnal Perempuan, 7 Oktober 2015, https://www.jurnalperempuan.org/warta-feminis/julia-suryakusuma-ibuisme-negara-adalah-perkawinan-antara-feodalisme-dan-kapitalisme
[3] Vinny Flaviana Hyunanda, José Palacios Ramírez, Gabriel López-Martínez, dan Víctor Meseguer-Sánchez, “State Ibuism and Women’s Empowerment in Indonesia: Governmentality and Political Subjectification of Chinese Benteng Women,” Sustainability 13, no. 6 (2021): 10.
[4] Ariane Utomo, “Mother Tongue, Mothering, and (Transnational) Identity: Indonesian Mothers in Canberra, Australia,” ASEAS – Austrian Journal of South-East Asian Studies 7, no. 2 (2014): 166.




