Memaknai Ulang Istilah Wali Ijbar dalam Buku Fiqh Perempuan

Untitled-design-4-750x375

Judul buku : Fiqh Perempuan
Penulis : KH Husein Muhammad
Jumlah halaman : 336 hlm; 14 x 20 cm
Penerbit : IRCsSoD
ISBN : 978-602-7696-77-8

SUPI.id – Beberapa hari belakangan ini, saya menyempatkan diri untuk membaca buku Fiqh perempuan karya KH. Husein Muhammad atau biasa disapa Buya Husein. Beliau merupakan salah satu ulama perempuan yang sudah sangat banyak melahirkan karya, baik berupa buku atau pun yang lainnya.

Selama membaca buku Fiqh Perempuan saya sangat kagum dengan gagasan beliau, terutama soal pemaparan tentang konsep ijbar. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam Islam ada yang disebut dengan istilah ijbar, yaitu suatu tindakan untuk melakukan sesuatu atas dasar tanggung jawab.

Dalam konteks fiqh, ijbar berkaitan dengan masalah perkawinan. Dalam mazhab Imam Syafi’i, orang yang memiliki hak ijbar adalah ayah atau kalau tidak ada maka kakek. Ijbar dalam perkawinan dimaksudkan sebagai bentuk perlindungan atau tanggung jawab ayah kepada anak perempuannya. Jika dinilai anaknya tidak tidak atau belum mampu untuk menentukan pasangannya.

Sejalan dengan itu, Buya Husein dalam buku Fiqh Perempuan menjelaskan bahwa makna ijbar dalam soal perkawinan ialah kekuasaan seorang ayah terhadap seorang perempuan untuk menikah dengan laki-laki pilihannya, bukan dengan cara memaksakan kehendaknya sendiri tetapi atas dasar tanggungjawab terhadap anak perempuan yang belum atau tidak mempunyai kemampuan untuk bertindak sendiri.

Sehingga ketika sang ayah hendak mengawinkan putrinya dengan laki-laki yang telah ia pilih, yang harus kita perhatikan terlebih dahulu ialah kerelaan sang anak. Sebab, jika ijbar itu adalah sebuah tanggungjawab ayah terhadap anaknya maka ia mempunyai kewajiban untuk memastikan anak dan cucu perempuannya mengalami kehidupan yang baik, aman dan nyaman. Mengapa begitu?

Tujuan Pernikahan

Karena tujuan dari pernikahan adalah mewujudkan kehidupan yang sakinah, mawwadah dan rahmah. Itu semua harus keduanya yaitu suami dan istri rasakan bersama.

Namun dewasa ini, ijbar seringkali mereka maknai sebagai hak ayah dalam memaksa perempuan untuk menikah dengan laki-laki yang tidak ia kehendaki.

Bahkan dalam beberapa kasus, perempuan akan mereka anggap durhaka ketika menolak menikah dengan laki-laki yang sudah orang tuanya tentukan. Sehingga banyak anak yang terpaksa menikah, padahal dia tidak menghendakinya. Entah calonnya tidak sesuai keinginan, atau memang dia belum siap untuk menikah.

Hal ini tentu saja bertentangan dengan konsep ijbar yang sesungguhnya. Karena seperti yang tersampaikan di atas, bahwa ayah atau pihak yang lain harus melindungi anak perempuan dari pernikahan yang tidak baik, salah satunya ialah dengan tidak memaksa perempuan untuk menikah.

Oleh karena itu, konsep ijbar yang Buya Husein jelaskan penting sekali untuk setiap orang tua pahami. Sehingga kasus pemaksaan perkawinan tidak akan terus terjadi pada anak perempuan.

Kawin Paksa Melanggar HAM

Di sisi lain, pemaksaan perkawinan merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Di mana setiap manusia berhak untuk memilih jalan hidupnya sendiri, termasuk menentukan dengan siapa ia akan menikah.

Sejalan dengan itu, dalam berbagai perjanjian internasional dan dokumen supranasional lainnya, pemaksaan perkawinan adalah pelanggaran terhadap martabat kemanusiaan seseorang. Bahkan hukum hak asasi manusia Internasional mengutuk praktik ini.

Menurut para pakar hukum internasional, praktik pemaksaan perkawinan melanggar hak seseorang untuk menikah secara bebas dan melanggar hak untuk hidup bebas dari kekerasan berbasis gender.

Dengan begitu, pemaksaan perkawinan, baik secara prinsip Islam maupun prinsip kemanusiaan, sangatlah tidak benar dalam Islam. Karena selain bertentangan dengan konsep ijbar itu sendiri, pemaksaan perkawinan juga adalah bentuk pelanggaran atas hak asasi manusia. []