SUPI.id – Banyak orang keliru memahami toleransi beragama. Seolah ignorence (cuek, tidak peduli), membiarkan mereka yang berbeda agama untuk melakukan apa yang diyakininya adalah sudah menjadi bagian dari toleransi. Menurut saya, itu bukan bagian dari toleransi.
Toleransi itu harus dengan kesadaran bahwa kita berbeda. Toleransi beragama adalah kesadaran bahwa kita berbeda dalam anutan agama dan keyakinan. Perbedaan diyakini sebagai keniscayaan atau sunnatullah.
Atas dasar toleransi, seseorang tidak boleh memaksakan keyakinannya kepada orang lain. Pun pula seorang toleran tidak boleh pernah berpikir atau bertindak harus sama atau menyamakan yang berbeda, karena memandang bahwa perbedaan adalah keniscayaan atau sunnatullah.
Toleransi harus didasari dan dilandasi dengan kesadaran bahwa kita berbeda dan perbedaan adalah keniscayaan atau pilihan yang harus dihargai. Bukan ignorence, cuek atau tidak peduli.
Nah, dalam implementasinya di lapangan tentu beragam. Level terendah dari toleransi adalah menghargai perbedaan. Keyakinanku adalah keyakinanku dan keyakinanmu adalah kayakinamu. Kita tidak boleh saling mengganggu dan menghalangi. Silahkan kamu lakukan apa yang kamu yakini atau percayai, dan saya akan melakukan apa yang saya yakini dan percayai.
Menurutku, ini toleransi tingkatan terendah, kesadaran menghargai atas perbedaan. Biasanya toleransi ini bersifat pasif. Yang penting tidak saling mengganggu dan menghalangi keyakinan masing-masing.
Level kedua, toleransi aktif. Tidak hanya menghargai dan menghormati saja, tapi atas dasar perbedaan seseorang menjalin dialog untuk saling memahami perbedaan masing-masing: apa yang berbeda, mengapa kita berbeda, apa konsekuensi dari perbedaan, apa dampak yang akan timbul dari perbedaan, dan lain-lain.
Seorang toleran pada level ini biasanya memahami dan mengerti titik perbedaannya, konsekuensinya, dan dampak-dampak yang mungkin akan terjadi dari perbedaannya.
Seorang toleran level ini biasanya sudah membuat langkah-langkah preventif agar perbedaan tidak menjadi destruksi atau konflik. Mereka terus menjalin komunikasi, dialog, dan relasi yang baik untuk membangun damai.
Level ketiga, lebih aktif lagi. Tidak berhenti pada dialog dan relasi yang baik, tetapi toleransi diwujudkan dalam bentuk aksi bersama untuk kebaikan, keadilan, dan kemanusiaan. Karena toleransi sering juga dimaknai jangan menyamakan yang beda, dan jangan membedakan yang sama.
Hal-hal yang berbeda dari agama-agama tidak boleh diseragamkan, seperti ibadah, ritus, simbol-simbol, keyakinan, dan sejenisnya. Sebaliknya, hal-hal yang sama dari agama-agama jangan dibeda-bedakan, seperti perjuangannya dalam membantu orang yang lemah dan dilemahkan, memperjuangkan keadilan, memberantas korupsi, mencegah kekerasan, dan lain-lain.
Seorang toleran pada level ini biasanya menjalin kerjasama dengan ragam agama untuk memperjuangan misi yang sama, misalnya mengentaskan kemiskinan, memberikan beasiswa, memberantas korupsi, mencegah kekerasan, dan membangun damai.
Perbedaan adalah skenario Tuhan untuk saling melengkapi dan menyempurnakan. Tuhan tidak menciptakan makhlukNya secara sempurna dan utuh, melainkan secara parsial dan berbeda-beda agar mereka bekerjasama untuk saling melengkapi dan menyempurnakan.
Level tertinggi, menurut saya, adalah pro aktif, yakni memperjuangkan dan mengadvokasi mereka untuk tetap berbeda. Karena kesadaran bahwa perbedaan itu suatu keniscayaan (sunnatullah), maka seorang toleran pada level ini memastikan bahwa di dalam kehidupan kita, lingkungan kita, dan komunitas kita perlu ada yang berbeda. Perbedaan adalah kebutuhan.
Sang toleran level ini memandang bahwa keragaman adalah indah, hidup, dinamis, dan niscaya ibarat taman bunga yang warna-warni. Sebaliknya keseragaman adalah kaku, beku, dan menjemukan, tidak membuat dinamis dan kreatif.
Mereka yang berbeda, termasuk perbedaan agama, sangat perlukan untuk ada. Posisi dan hak-hak mereka untuk berbeda diperjuangkan. Jika ada yang menghalangi atau menggannggu mereka, kita membela hak-hak mereka untuk tetap berbeda.
Bahkan, jika mereka tidak memiliki tempat atau fasilitas untuk menjalankan ibadah atau kegiatan keagamaan, sang toleran level ini akan menyediakan segala sesuatunya agar mereka bisa beribadah dan tetap berbeda. Sang toleran level ini akan mengatakan: saya ada, karena ada yang berbeda. Saya bermakna karena ada yang berbeda.
Semakin dalam menyelami perbedaan, maka akan semakin kokoh dan teruji keimanan kita. Keberadaan kita akan bermakna karena adanya perbedaan. Semakin ragam perbedaan dalam kehidupan kita, maka akan semakin mendalam makna keberadaan kita. Ini level toleransi tertinggi.
Demikian, pandangan dan pendapat saya tentang toleransi dan tindakan yang kita lakukan. Apakah kita termasuk orang yang toleran? Jika toleran, pada level manakah toleransi kita? Istafti qalbak (tanyalah, mintalah fatwa pada hati nuranimu).[]